Kebermaknaan dan Pentingnya Tatabahasa Pedagogis untuk Pembelajaran Bahasa Kedua dan Bahasa Asing


 

Oleh : Rona Almos*

           

 Tatabahasa pedagogis adalah tatabahasa untuk tujuan pendidikan dan belajar. Tatabahasa pedagogis merupakan tatabahasa yang mengajarkan bahasa, bukan mengajarkan tentang bahasa (Greenbaum, 1986). Menurut (Crytas, 1987) ada enam jenis tata bahasa yaitu 1) tatabahasa deskriptif; 2) tatabahasa pedagogis; 3) tata bahasa preskriptif; 4) tatabahasa referensial; 5) tatabahasa teoretis; 6) tatabahasa tradisional.

Diantara tatabahasa deskriptif dan tatabahasa preskriptif ada tatabahasa pedagogis. Tata bahasa ini dikembangkan, dirumuskan, ditulis dan dibuat untuk tujuan pendidikan dan balajar bahasa. Tatabahasa ini bukan untuk linguis. Tatabahasa pedagogis merupakan tatabahasa mengajarkan bahasa bukan tentang bahasa. Tatabahasa pedagogis mengatur semua susunan secara psikologis dan kognitif.

Tatabahasa pedagosis semestinya dapat digunakan sebagai referensi atau untuk lembaran kerja bagi pembelajar. Kemudian tatabahasa pedagogis dapat dipakai dan dipahami oleh pembelajar. Dalam tatabahasa pedagogis kita harus memperhatikan kaidah karena bersifat gabungan antara tatabahasa deskriptif dan preskriptif. Selain itu tatabahasa pedagogis juga sangat membantu pembelajar bahasa kedua  untuk memahami tatabahasanya dan dapat digunakan oleh guru dan pembelajar secara praktis.

Jufrizal (2015) mengatakan bahwa akan selalu ada keterkaitan dan saling mengikat serta menguntungkan antara tatabahasa pedagogis dan pemerolehan bahasa sebagai bahasa kedua. Dari tatabahasa pedagogis yang merupakan salah satu elemen yang terdapat dalam linguistik yang merupakan tatabahasa. Hal ini ditujukan untuk pembelajaran bahasa yang dapat dilihat dari sisi teoritis dan pragmatisnya. 

Pengajaran tata bahasa perlu diajarkan bahasa pertama dan bahasa kedua serta bahasa asing dalam bentuk dan pada tingkat bahasa manapun (Jufrizal, 2014). Pada pembelajar BIPA tingkat pemula diajarkan tentang tata kata (morfologis). Dalam morfologis satuan-satuan yang mempunyai struktur fonologik yang berbeda merupakan satu morfem apabila satuan-satuan itu mempunyai arti atau makna yang sama dan berbeda struktur fonologiknya, perbedaan tersebut dapat dijelaskan secara fonologik, seperti pada data di bawah ini.

1.      (meN-) + lambai                                              melambai

2.      (meN-) + didik                                                mendidik

3.      (meN-) + bantu                                               membantu

4.      (meN-) + ambil                                                mengambil

5.      (meN-) + sayur                                                menyayur

Pada data di atas perubahan fonem yang terjadi pada morfem terikat tersebut dapat dijelaskan secara fonologi. Berikut dijelaskan satu-persatu.

Pertama, (meN-) muncul manjadi (me-) apabila digabungkan dengan kata dasar awali dengan fonem /l/.

Kedua, (meN-) berubah manjadi (men-) apa bila digabungkan dengan kata dasar yang diawali oleh fonem /d/.

Ketiga, (meN-) berubah manjadi (mem-) apa bila digabungkan denga kata dasar yang diawali oleh fonem /b/.

Keempat, (meN-) berubah manjadi (meng-) apa bila digabungkan denga kata dasar yang diawali oleh fonem /a/ dana atau vokoid.

Kelima, (meN-) berubah manjadi (meny-) apa bila digabungkan denga kata dasar yang diawali oleh fonem /s/.

Selanjutnya dalam morfologis dijelaskan juga satuan-satuan yang mempunyai struktur fonologik yang berbeda, sekalipun perbedaannya tidak dapt dijelaskan secara fonologik, masih dapat dianggap sebagai satu morfem apabila mempunya arti atau makan yang sama dan mempunyai distribusi komplementer. Distribusi komplementer dapat dijelaskan dari contoh afiksasi berikut. Morfem  (bel-) muncul hanya pada kata ajar. Kemudian, morfem (ber-) muncul pada semua lingkungan kecuali lingkungan (bel-) dan (be-). Morfem (be-) muncul pada kata dasar yang mengandung urutan fonem er pada suku kata pertamanya.

Sejalan dengan pebelajaran tata kata di atas, pembelajar BIPA diajarkan pengembangan materi membaca. Materi-mataeri bacaan yang diberikan adalah materi bacaan yang sederhana yang banyak mengandung afiksasi seperti (di-), (di- -kan), (peN-), (ber-), dan (ter-). Bahan bacaan tersebut dapat juga diambil dari buku cerita anak, cerita rakyat, dan majalah. Menurut Seelye (dalam Suyitno, 2004) dengan pengembangan dan penataan materi demikian, diharapkan pembelajar dapat memiliki pemahaman yang telah disesuaiakan dengan kemampuan kognitifnya.

Menurut Jufrizal (2014) proses belajar mengajar bahasa tidak dapat dipisahkan dari linguistik dan sifat granmatikal bahasa tertentu. Dalam hubungan ini menurut Valdman (1996) dan Corder (1973) (dalam Jufrizal, 2014) berpendapat bahwa ahli bahasa dapat mencari validitas dalam teori linguistik yang koheren dan konsisten. Sementara itu guru bahasa menilai teori untuk kegunaan dalam desain bahan pembengembangan pengajaran. Teori linguistik yang berbeda mungkin menawarkan perspektif yang berbeda tentang bahasa dan dapat diperlakukan sebagai sumberdaya yang setara.

Penjelasan materi di atas apabila dikaitkan dengan kaidah bahasa pedagogis maka bahasa yang disampaikan kepada pembelajar BIPA haruslah benar; kaidah yang dirumus atau disajikan kepada pembelajar BIPA harus benar secara lingusitik. Kemudian, kaidah yang dirumuskan atau disajikan kepada pembelajar BIPA harus jelas. Selanjutnya, dalam penjelasanya materi tersebut mestilah menggunakan kaidah yang sederhana. Artinya dalam penyampaian materi seorang pengajar BIPA tidak boleh berbelit-belit.  (*Dosen Sastra Minangkabau FIB Unand)

 

Posting Komentar

0 Komentar

Selamat datang di Website www.maestroinfo.id, Terima kasih telah berkunjung.. tertanda, Pemred: An Falepi